Monday, November 9, 2009

biografi bibit samad rianto

Biografi Irjen Polisi Bibit Samad Rianto, Kuli Tenun Jadi Pimpinan KPK
2009 November 2
tags: Bibit Samad Rianto, Chandra M. Hamzah, indonesia, ketua kpk, pimpinan kpk
by nusantaraku

Kisah/riwayat hidup Wakil Ketua KPK nonaktif Bibit Samad Riyanto cukup berliku. Berawal dari keluarga yang kurang mampu, Bibit akhirnya menjadi seorang jenderal di kepolisian hingga menjadi pimpinan KPK.

Bibit Rianto

Wakil Ketua KPK Non-aktif Bibit Samad Rianto bersama Chandra M Hamzah menjadi perhatian jutaan rakyat Indonesia ketika mereka ditahan oleh Bareskrim Mabes Polri. Sebelumnya mereka dijadikan disidik dengan dugaan pelanggaran yang berubah-ubah, dari penyadapan, suap, hingga kewenangan dan pemerasan. Mereka berdua ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) Brimob Kelapa Dua Depok, tempat tahanan yang selama ini banyak dihuni oleh tahanan titipan KPK dan para teroris.

Penahanan Bibit dan Chandra di Rutan BKD merupakan pesan psikologis terbalasnya dendam pada pimpinan KPK yang selama ini menangkap dan menahan para tersangka koruptor di Rutan ini. Diantaranya adalah petinggi di Kepolisian dan Kejaksaan. Sebut saja Mantan Jend Polisi (Purn) Rusdihardjo dalam kasus pungli TKI/TKW di Kedubes Malaysia, Jaksa Urip Tri Gunawan dalam kasus penyuapan Artalyta Suryani (SP3 kasus Syamsul Nursalim), serta Aulia Pohan dalam kasus aliran suap Yayasan BI Rp 100 miliar.

Pada tanggal 30 Oktober 2009, Bibit bersama Chandra dipindahkan ke Rutan BKD, dan Bibit meringkuk dalam sel tahanan bekas Jenderal Pol. (Purn) Rusdihardjo dan Mayjen Muchdi PR. Saat ini, Rusdihardjo dan Muchdi sudah menghirup udara segar alias bebas dari penjara.
Bibit Samad Rianto, Kuli Tenun Jadi Polisi

Irjen (Purn) Dr. Bibid Samad Rianto, MM lahir pada 3 November 1945 di Kediri – Jawa Timur. Hidup di keluarga sederhana, Bibit kecil lebih banyak menghabiskan waktu di pasar mendampingin ibunya yang jadi tukang jahit. Lingkungan pasar membuat Bibit kecil sering berkelahi dan menjadi layaknya “preman” pasar.

Perjalanan hidup Wakil Ketua KPK nonaktif Bibit Samad Rianto ini cukup berliku. Berawal dari keluarga yang kurang mampu, Bibit akhirnya menjadi seorang jenderal di kepolisian hingga menjadi pimpinan KPK. Karena kondisi ekonomi, orang tua Bibit hanya mampu membiayai beliau sampai SMP saja. Sehingga untuk melanjutkan pendidikan SMA, Bibit mencari uang sendiri dengan menjadi kuli tenun. Sehabis menyelesaikan pendidikan SMA di tanah kelahirannya, Bibit kemudian memilih untuk bergabung di Akademi Kepolisian (Akpol) dan lulus pada 1970. Alasan utama Bibit memilih Akpol karena bisa menjadi perwira dan penghasilan seorang perwira pada saat itu lumayan cukup. Selain alasan ekonomi tersebut, Bibit bercita-cita menjadi penegak hukum yang baik sesuai dengan fungsinya untuk masyarakat.

Setelah lulus dari Akpol, Bibit langsung mengabdikan dirinya selama 30 tahun di kepolisian. Berbagai posisi teritorial pernah diembannya, di antaranya Kapolres Jakarta Utara, Kapolres Jakarta Pusat, Wakapolda Jawa Timur, dan Kapolda Kalimantan Timur. Bibit pensiun dari kepolisian pada 15 Juli 2000 dengan pangkat terakhir Inspektur Jenderal. Atas jasa dan pengabdiannya selama bertugas, beliau mendapatkan berbagai bintang jasa dan penghargaan. Di antaranya: Satya Lencana Kesetiaan, Satya Lencana Dwidya Sista, Bintang Bhayangkara Nararya, Bintang Yudha Dharma Nararya, Bintang Bhayangkara Pratama.

Bibit merupakan pelaku ‘monogami’ yang hanya memperistrikan Sugiharti, seorang perawat asal Jawa Tengah. Pernikahan Bibit dan Sugiharti membuah 4 buah hati yakni Yudi Prianto, Bayu, Endah Sintalaras, dan Rini Wulandari. Semua anaknya kini sudah berkeluarga. Dua di antaranya meniti karir yang sama dengan bapaknya yakni menjadi polisi. Salah seorang anaknya, AKP Bayu Suseno saat ini menjadi Kapolsek Pagedangan, Tangerang.

Enam tahun menjelang pensiun di kepolisian, Bibit mempersiapkan dirinya alih profesi jadi guru. Keinginan menjadi guru merupakan buah dari pesan almarhumah ibunya agar Bibit menjadi guru. Bibit menamatkan studi hingga S3 dan mendapat gelar Doktor. Pesan ibunya tercapai, Bibit pernah mengajar di Universitas Bina Nusantara selama 4 tahun, jadi rektor Universitas Bhayangkara 3 tahun. Beliau juga pernah mengajar di UNJ (Universitas Negeri Jakarta) dan bekas kampusnya di PTIK.
Bibit Samad Rianto : Kapolda yang “Lulus Godaan” Suap Puluhan Miliaran Rupiah

Meskipun merupakan alumni dari salah satu lembaga yang memiliki tingkat kepercayaan publik yang buruk seperti terkorup di Indonesia tahun 2008, Irjen Polisi (Purn) Bibit Samad Rianto mungkin sekelompok jenderal polisi yang masuk pengecualian publik seperti halnya Irjen Pol (Purn) Herman SS (Eks. Kapolda Jatim) dan Irjen Sutjiptadi (mantan Kapolda Riau). Sejak proses pemilihan pimpinan KPK 2007-2011, sosok dan integritas Bibit Samad Rianto bersama Chandra M Hamzah selalu terbaik, bahkan melewati Antasari Azhar. Hal itu diungkapkan oleh mantan anggota panitia seleksi pimpinan KPK tahun 2007 Mas Ahmad Santosa pada tanggal 16 September 2009. Catatan: Mas Achmad Santosa diangkat menjadi Wakil Ketua Sementara (Plt) KPK pada 6 Oktober 2009.

“Chandra dan Bibit yang paling baik mewakili unsur-unsur mereka, tidak seperti Antasari yang kontroversial…”
Berdasarkan hasil penelusuran tim investigasi pansel saat itu, Bibit adalah perwakilan Kepolisian yang paling bersih. Pengalamannya sebagai anggota Kepolisian ditunjang dengan kemampuan ilmiah sebagai Rektor Universitas Bhayangkara.
“Dia (Bibit) lebih ke dunia ilmiah, ilmu soal investigasi tindak pidana, jadi lebih bersih,” ungkap Mas Achmad Santosa pada 16 September 2009 pada Detiknews

Selama menjadi Kapolda Kalimantan Timur di penghujung tahun 1990-an, Bibit dikenal tegas terhadap kasus illegal logging. Selama itupula ia sering digoda suap menyuap oleh para cukong kayu. Kala itu ia pernah ditawari uang suap puluhan miliar. Tapi tegas-tegas Bibit menolak suap tersebut. Bibit ‘lulus dari godaan’ suap.

Bibit setidaknya berhasil menangani 234 kasus ilegal logging. Bibit mengaku bahwa sebagian besar dari kasus yang ditangani berani menyuap rata-rata Rp 500 juta per kasus. Namun, semua suap ditolak mentah-mentah oleh Bibit, karena bertentangan dengan hukum dan hati nuraninya. Bayangkan, Andai saja ia mau menerima suap setengah kasus yang ia tangani, maka Bibit bisa meraup Rp 58.5 miliar dan menjadi jenderal polisi yang kaya. Namun Bibit lebih memilih hidup sederhana. Bekerja selama hampir 37 tahun (polisi selama 30 tahun + dosen selama 7 tahun), pada 2007 seluruh harta kekayaan (rumah, tanah, kendaraan, tabungan) tidak lebih dari Rp 1,9 miliar. Angka total kekayaan ini tergolong kecil dibanding jenderal polisi lainnya, sehingga Bibit dapat disebut “jenderal kere”.

“Dulu ketika menjabat sebagai Kapolda Kalimatan Timur, saya pernah menangani 234 kasus ilegal logging. Saya babat habis. Kemudian ada yang berani ngasih duit Rp 500 juta per kasus. Kalikan saja dengan 234 kan Rp 117 miliar. Yang segitu saja saya tolak, masa sekarang dituduh ngambil Rp 1,5 miliar. Buat apa? ” ungkap Bibit Samad Rianto (Detiknews)

Apabila tawaran suap puluhan miliar ketika menjabat sebagai Kapolda Jatim ia tolak, tentu hal yang janggal jika ia menerima suap Rp 1.5 miliar ketika menjadi Wakil Ketua KPK. Dalam wawancara dengan detiknews, Bibit justru bertanya untuk apa ia menerima suap Rp 1.5 miliar, padahal sebelumnya suap puluhan miliar ia tolak. Hal itu menjawab tuduhan yang dialamatkan Kepala Polri Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri yang melontarkan dugaan pimpinan KPK menerima uang suap sebesar Rp 5,15 miliar dari Ari pada periode 11 Agustus 2008 (di Bellagio Residence, Jakarta), 13 November 2008, dan 13 Februari 2009. Padahal pada tanggal 11-18 Agustus, Bibit Samat Rianto justru berada di Peru.

”Pada 11-18 Agustus 2008 saya di Peru,” ujar Bibit. Ia juga menunjukkan surat jalan, paspor, tiket, dan surat undangan dari Kedutaan Besar Peru kepada wartawan.
”Bellagio Residence saja saya tak tahu, apalagi pernah ke sana. Jika dikatakan ada yang bertemu saya di Hotel Bellagio Residence, itu mungkin setan atau jin yang mirip dengan saya,” kata Bibit. (kompas)

“Kesalahan” Masa Lalu Bibit

Ketika mengikuti seleksi pimpinan KPK, Bibit dinilai memiliki dua kelemahan yang membuat dirinya ‘payah’. Pertama, meski berasal dari kepolisian, selama karirnya di kepolisian Bibit tidak pernah menangani kasus korupsi. Saat menjabat Kapolda Kalimantan Timur, ia hanya menangani kasus pembalakan liar.

Tidak heran, ketika mendapat pertanyaan tentang strategi memberantas korupsi pada uji kelayakan di Komisi III DPR, Bibit malah memaparkan pengalamannya mendamaikan dua kampung yang berseteru saat menjabat Kapolres Jakarta Pusat dan cara menangani banjir. Kelemahannya yang tidak pernah menangani kasus korupsi terbayarkan dari usahanya yang keras dalam menangani kasus pembalakan liar di Kaltim disamping kesederhanaan hidupnya.

Kelemahan kedua yakni ketika menjadi polisi ia mengakui pernah menerima bantuan bahan bangunan dengan alasan bukan dari pihak yang berperkara, sehingga Bibit bisa membangun rumah hanya dengan modal Rp 26 juta. Namun Bibit mengaku sudah ‘bertaubat’ dan hanya menerima bantuan pada saat pembangunan rumah saja. Kejadian itu terjadi ketika ia menjadi Kapolres.

Tapi semenjak Beliau menjadi Kapolda, ia sudah tidak melakukan (menerima) hal itu lagi. Justru, sewaktu bertugas di Kaltim, ada pengusaha yang pengen memberi saham bodong, namun Bibit menolaknya. Begitu juga saat Gubernur Kaltim memberi mobil ke Bibit untuk Kapolda, ketika pensiun, ia tidak membawa mobil tersebut karena ia berprinsip bahwa mobil tersebut untuk Kapolda, bukan untuk Bibit.

Pensiunan Jenderal yang Hidup Sederhana

Meskipun pensiunan jenderal polisi berbintang dua dan kemudian menjadi dosen dan terakhir menjadi Wakil Ketua KPK, Bibit dan keluarganya hidup sederhana. Dengan pangkat setinggi itu, mestinya dia bisa tinggal di perumahan elite. Tapi, tidak demikian Bibit. Pecinta kesenian keroncong ini ter­nyata hidup sederhana di perumahan biasa. Kediaman Bibit terletak di kampung Pedu­renan, belakang Perumahan Griya Kencana I, Ciledug, Tangerang. Berikut ulasan kisah Bibit (khususnya istrinya) dari hasil wawancara Wartawan Jawapos pada 17 Oktober 2009.

Dari jalan raya, kampung itu tidak memiliki pintu masuk sendiri. Untuk mencapainya, ha­rus nebeng pintu masuk perumahan, kemudian melewati jalan sempit yang hanya cukup dilalui satu mobil. Setelah itu, baru sampai di perkampungan pa­dat penduduk, tempat keluarga Bibit tinggal. Di depan rumah Bibit yang menghadap ke barat tersebut terdapat tanah kosong yang bia­sa dipakai warga untuk membakar sampah. Jadilah asap dan bau bakaran sampah familier dengan keluarga Bibit.

Di samping kanan rumahnya tersebut terdapat bekas kolam yang kini ditumbuhi rumput liar. Berimpitan de­ngan rumah itu, ada bangunan tak seberapa luas. Tempat tersebut dimanfaatkan untuk pe­nitipan gerobak PKL para tetangga yang ber­dagang makanan keliling.

Sebenarnya, rumah yang ditinggali Bibit se­jak 1992 tersebut cukup luas. Rumah itu ber­diri di atas lahan seluas 600 meter persegi. Ada halaman lumayan luas di depan rumah. Du­lu, halaman tersebut kerap dimanfaatkan para tetangga untuk berlatih musik keroncong.

Namun, seluruh bangunannya jauh dari kesan mewah. “Ya, gimana? Meskipun polisi, mam­pu belinya ya yang segini,” kata Sugihar­ti kepada Jawa Pos di kediaman tersebut Sabtu lalu (17/10). Tanah itu dibeli Bibit dari seorang anak buahnya seharga Rp 2 ribu per meter persegi pada 1989. Saat itu Bibit sudah menjadi perwira menengah.

Kendati terpencil, rumah tersebut cukup asri. Sejumlah tanaman dari jenis gelombang cinta dan jemani diletakkan di teras. Beberapa kursi tamu ditata memutari meja kecil. “Maaf, jangan duduk di situ. Kursinya jebol, belum diperbaiki,” ujar wanita 59 tahun itu kepada Jawa Pos sebelum duduk di salah satu kursi di teras.

Sugiharti amat tak percaya ketika suaminya dituding terlibat dalam kasus hukum penyalahgunaan kewenangan yang berbumbu pemerasan terhadap dua orang, yakni Direktur PT Masaro Radiokom Anggoro Widjojo dan Joko S. Tjandra. “Sama sekali saya tak percaya de­ngan tuduhan itu. Sejak dulu, hidup kami se­perti ini,” ucapnya. “Kalau benar, mana duitnya?” terangnya lantas tersenyum.

Dia menjelaskan, anak-anaknya selalu berkumpul di rumah tersebut setiap Bibit diperiksa di Mabes Polri. Mereka terus memotivasi sang bapak agar kuat menghadapi cobaan dari jabatan pimpinan KPK tersebut. Beberapa anaknya juga kerap menyerahkan sejumlah kliping koran yang memberitakan kasus ayahnya. Yang pasti, mereka terus memantau kasus yang menjadi polemik itu. “Kasusnya selalu saya pelototi dari running text televisi,” tutur dia.

Titik -panggilan akrab Sugiharti- mengungkapkan, semua anaknya juga tak percaya dengan tudingan tersebut. Sebab, selama ini mereka terbiasa hidup sederhana. Meski sang ayah menyandang jabatan pimpinan penegak hukum paling garang (KPK), papar Sugiharti, anak-anak me­reka tidak semau gue. Mereka hidup seadanya. “Anak-anak saya kalau beli rumah juga nyicil.”

Bagaimana para tetangga dan teman? Menurut Sugiharti, kasus yang membelit Bibit memancing para tetangga ikut bersuara. Dia menuturkan, beberapa tetangga bertanya, kemudian ikut mendukung Bibit. Mereka tak percaya jika Bibit benar-benar menerima duit suap seperti yang dituduhkan polisi selama ini.

Sugiharti kali pertama mendengar status tersangka dari Bibit. Ketika itu Bibit diperiksa di Mabes Polri. Kala ditetapkan sebagai tersangka, Bibit langsung mengirim SMS kepada Sugiharti. “Saya sekarang jadi tersangka,” terang Sugiharti menirukan bunyi SMS tersebut. Saat itu Sugiharti kaget. Tapi, dia tetap tidak percaya bahwa Bibit menerima dana Rp 1,5 miliar. Alasannya sederhana. “Lha, kalau ne­rima suap, mana duitnya?” tegasnya.

Sugiharti lahir di Purworejo, Jawa Tengah. Sebelum dinikahi Bibit, wanita kalem tersebut kuliah di Akademi Keperawatan Depkes, Jakarta. Setelah lulus pada 1970-an, dia bekerja sebagai perawat di Rumah Sakit Jiwa Pusat Jakarta hingga pensiun. Ketika itu Bibit muda bertugas di Bagian Intel Polda Metro Jaya sebelum akhirnya masuk Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) pada 1977.

Menurut Sugiharti, sebelum tinggal di tempat tersebut, keluarga mereka tinggal di Perumah­an Cicurug Indah, tak jauh dari rumah sekarang. Rumahnya tipe 45. Tapi, karena berdiri di kawasan aliran sungai, perumahan itu sering kena banjir. “Dulu kami tinggal di sana. Kalau banjir, (genangan air, Red) bisa tiga meter,” terangnya. Akhirnya, pada 1991 mereka memutuskan untuk pindah ke rumah sekarang.

Meski bersuami polisi, wanita berambut sebahu tersebut menuturkan memang harus betah bertahan hidup dengan gaji semata. Kesederhanaan itu memang ditunjukkan suaminya sejak menjadi perwira pertama. “Bapak itu polisi yang nggak pintar cari duit,” kata dia lantas tersenyum. Bibit yang ikut mendam­pinginya pun tersenyum kecil.

Sejak awal, Sugiharti memang tidak berniat berhenti dari kerja. Maklum, gaji polisi memang tak seberapa. Sebagai istri Bibit, dia rela tinggal di mes polisi kawasan Kemayoran, Jakarta Pusat. Meskipun perwira, Bibit dan keluarganya tak sungkan tinggal di kompleks bersama polisi berpangkat tamtama. “Kondisinya dulu menyedihkan. Lantainya disapu berkali-kali pun selalu berdebu,” ungkapnya. Tapi, kesetiaannya sebagai istri Bibit sama sekali tak luntur.

Sebagai perwira pertama, saat itu Bibit memiliki banyak tanggungan. Di antaranya, dia harus membiayai banyak adiknya. Mulai adik kandung sampai adik-adik istrinya. Bibit muda adalah gantungan hidup keluarga. Karena kurangnya penghasilan, Bibit tak hilang akal. Beberapa kali dia minta izin kepada istrinya untuk jadi sopir angkot setiap lepas dinas. Namun, keinginan tersebut tak pernah kesampaian.

Untuk menambah pendapatan, dia ikut membantu menjadi petugas keamanan di salah satu hotel kecil di kawasan Kemayoran. “Itu dijalani bapak selama beberapa saat,” ucap Sugiharti. Prinsipnya, yang penting halal. Saat kuliah di PTIK, Bibit rela mendapatkan tambahan uang sebagai penata arsip kepolisian. “Itu tadi, yang penting halal,” tegas dia. De­ngan begitu, perlahan beban ekonomi keluarga terkurangi. Kesederhanaan itu pula yang melambungkan namanya hingga dinominasikan sebagai calon Kapolri di era Presiden Gus Dur.

Demikian juga setelah pensiun dari dinas kepolisian, Bibit tak ingin aktivitasnya berhenti begitu saja. Bibit mengajar di sejumlah kampus. Di antaranya, Universitas Bina Nusantara, Universitas Negeri Jakarta, dan Universitas Indonesia. Dia mengajar manajemen, mulai jenjang S-1 hingga S-3.

Aktivitas Bibit makin banyak saat menjabat wakil ketua KPK. Sampai di rumah setelah beraktivitas seharian penuh, dia masih betah berlama-lama di depan komputer. “Dia langsung menulis buku,” papar dia. Demikian halnya setelah kini nonaktif. Dia masih menyempatkan menulis buku, yakni Anatomi Korupsi di Indonesia

No comments:

Post a Comment

KNKT Ungkap Fakta Baru, Misteri Jatuhnya Lion Air JT610

KNKT Ungkap Fakta Baru, Misteri Jatuhnya Lion Air JT610 Artikel ini telah tayang di  serambinews.com  dengan judul KNKT Ungkap Fakta Bar...